Minggu, 07 Juli 2013

Makalah : Kecerdasan Emosi


oleh: ZURRIYATUN THOYIBAH
 
BAB I
PENDAHULUAN

A.    LATAR BELAKANG
Banyak contoh di sekitar kita membuktikan bahwa orang yang memiliki kecerdasan otak saja, memiliki gelar tinggi, belum tentu sukses berkiprah di dunia pekerjaan. Seringkali justru yang berpendidikan formal lebih rendah, banyak ternyata yang berhasil. Kebanyakan program pendidikan hanya berpusat pada kecerdasan akal (IQ), padahal diperlukan pula bagaimana mengembangkan kecerdasan emosi seperti: ketangguhan, inisiatif, optimism, kemampuan beradaptasi.
Kecerdasan memungkinkan manusia maju dalam bersikap, berbuat, dan berkarya secara dinamis dan konstruktif. Beberapa kecerdasan tersebut antara lain: kecerdasan intelegensi, emosi, spiritual, linguistik, bodi kinestik, dan interpersonal, kecerdasan EQ. Seorang siswa sebagai generasi penerus bangsa, sepatutnya mampu mengelola aspek kognitif, afektif dan psikomotorik yang dimilikinya secara baik. Usia siswa yang tergolong remaja berkisar antara 15-18 tahun. Masa remaja dikenal dengan masa storm dan stress, masa-masa terjadi pergolakan emosi yang diiringi dengan pertumbuhan fisik yang pesat dan bervariasi. Pergolakan emosi yang terjadi pada remaja tidak terlepas dari bermacam-macam pengaruh, seperti lingkungan tempat tinggal, keluarga, sekolah dan teman-teman sebaya serta aktivitas-aktivitas yang dilakukannya dalam kehidupannya sehari-hari (Mu’tadin, 2002: 1). Hurlock (2004: 207) menyatakan bahwa “masa remaja sebagai periode perubahan, yang salah satunya adalah meningginya emosi”. Semoga makalah ini bermanfaat bagi kita semua.

B.     RUMUSAN MASALAH
1.      Apa yang dimaksud dengan emosi?
2.      Apa saja faktor yang mempengaruhi kecerdasan emosi?
3.      Mengapa penting untuk meningkatkan kecerdasan emosional?
4.      Bagaimana kiat-kiat dalam meningkatkan kecerdasan emosional?
5.      Bagaimana kondisi emosional seseorang?
6.      Bagaimana upaya pengembangan kecerdasan emosional untuk guru?

C.    TUJUAN
1.      Menambah pengetahuan tentang kecerdasan emosional.
2.      Mengetahui pengertian kecerdasan emosional.
3.      Mengetahui pentingnya meningkatkan kecerdasan emosional.
4.      Mengetahui bagaimana upaya pengembangan kecerdasan emosional untuk guru.
5.      Mengetahui kiat-kiat meningkatkan kecerdasan emosional.




BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Emosi
Kata emosi berasal dari bahasa latin, yaitu emovere, yang berarti bergerak menjauh. Arti kata ini menyiratkan bahwa kecenderungan bertindak merupakan hal mutlak dalam emosi. Beberapa tokoh mengemukakan tentang macam-macam emosi, antara lain Descrates. Menurut Descrates, emosi terbagi atas : Desire (hasrat), hate (benci), Sorrow (sedih/duka), Wonder (heran), Love (cinta) dan Joy (kegembiraan). Sedangkan JB Watson mengemukakan tiga macam emosi, yaitu : fear (ketakutan), Rage(kemarahan), Love (cinta).
Istilah “Kecerdasan Emosional” pertama kali dilontarkan pada tahun 1990 oleh dua orang psikolog yakni Peter Salovey dan John Mayer . Daniel Goleman, emosi adalah suatu perasaan dan fikiran yang khas, keadaan psikologis dan biologis  yang  merupakan dorongan untuk bereaksi atau bertindak karena ada nya rangsangan baik dari dalam maupun dari luar individu, dimana hal tersebut bisa berupa; marah, sedih, bahagia, takut, jengkel, malu, terkejut, cinta, benci, puas yang secara keseluruhan merupakan respon atas stimulus yang di terima. Emosi merupakan komponen paling penting dalam bahasan psikologi. Emosi masuk dalam komponen afektif manusia. Emosi merupakan pusat penggerak di samping motivasi, yang mendasari manusia bertingkah laku.
Menurut Crow & crow (1958) (dalam Sunarto, 2002:149) emosi adalah “An emotion, is an affective experience that accompanies generalized inner adjustment and mental physiological stirred up states in the individual, and that shows it self in his overt behavior.”
Seperti yang telah diuraikan diatas, bahwa semua emosi menurut Goleman pada dasarnya adalah dorongan untuk bertindak. Jadi berbagai macam emosi itu mendorong individu untuk memberikan respon atau bertingkah laku terhadap stimulus yang ada. Dalam the Nicomachea Ethics pembahasan Aristoteles secara filsafat tentang kebajikan, karakter dan hidup yang benar, tantangannya adalah menguasai kehidupan emosional kita dengan kecerdasan. Nafsu, apabila dilatih dengan baik akan memiliki kebijaksanaan; nafsu membimbing pemikiran, nilai, dan kelangsungan hidup kita. Tetapi, nafsu dapat dengan mudah menjadi tak terkendalikan, dan hal itu seringkali terjadi. Menurut Aristoteles, masalahnya bukanlah mengenai emosionalitas, melainkan mengenai keselarasan antara emosi dan cara mengekspresikan (Goleman, 2002 : xvi).
Schönpflug/Schönpflug (1983) menandai keadaan tergugah tersebut melalui beberapa hal yaitu: (1) pengalaman subjektif individu yang mengalami, (2) ekspresi verbal, (3) ekspresi nonverbal, (4) kegiatan individu yang terlihat, dan (5) aktivitas fisiologis. Kelima hal tersebut akan menyatu dalam keadaan individu tergugah yang disebut aktivasi.
Atkinson et al. (1996) memaparkan lebih spesifik bahwa emosi terdiri atas beberapa komponen yang tidak terpisahkan satu sama lain, yaitu: (1) pengalaman subjektif tentang emosi, (2) respon tubuh internal terutama yang berkaitan dengan sistem saraf otonom, (3) segi kognisi dari emosi dan situasi yang berkaitan dengan emosi, (4) ekspresi wajah, (5) reaksi emosi, dan (6) kecenderungan bertindak.
Jadi, kecerdasan emosional adalah kemampuan merasakan, memahami, dan secara selektif menerapkan daya dan kepekaan emosi sebagai sumber energi dan pengaruh yang manusiawi, kecerdasan emosi menuntut pemilikan perasaan, untuk belajar mengakui, menghargai perasaan pada diri dan orang lain serta menanggapinya dengan terpat, menerapkan secara efektif energi emosi dalam kehidupan sehari-hari.

B.  Kondisi Emosional
Berdasarkan aktivitasnya, tingkah laku emosional dapat dibagi menjadi empat macam,yaitu:
(1)Marah, orang bergerak menentang sumber frustasi
(2)Takut,orang bergerak meninggalkan sumber frustasi
(3)Cinta, orang bergerak menuju sumber kesenangan
(4)Depresi,orang menghentikan resfons-resfons terbukanya dan mengalihkan emosi kedalam dirinya sendiri (Mahmud,1990:167).

Dari hasil penelitiannya, John B. Watson (dalam Mahmud, 1990) menemukan bahwa tiga dari keempat respons emosional tersebut terdapat pada anak-anak, yaitu:

ü  Takut
Pada dasarnya, rasa takut itu bermacam-macam.Ada yang timbul karena anak kecil sering ditakut-takuti atau karena berlakunya berbagai pantangan di rumah. Akan tetapi, ada juga rasa takut “naluriah” yang terpendam dalam hati sanubari setiap insan .seperti, rasa takut akan kegelapan , takut berada di tempat sepi tanpa teman atau yang lainnya.
ü  Marah                                  
Pada umumnya, luapan kemarahan lebih sering terlihat ketimbang rasa takut.kemarahan selalu kita lihat berhubungan dengan keadaan tertentu.kemarahan bisa juga timbul  sehubungan dengan keadaan yang sebetulnya tidak lazim untuk menimbulkan kemarahan.
Kemarahan merupakan emosi yang amat sukar untuk menerima dan mengungkapkannya. Rasamarah merupakan menunjukkan bahwa perasaan kita tersinggung oleh seseorang, bahwa seseorang sudah tidak baik. Pada waktu kita tidak mau mengakui perasaan marah atau tidak mau mengungkapkannya, perasaan marah itu mengumpal atau berkumpul.jika kita memendamnya, perasaan marah itu  lama kelamaan akan menghilangkan tenaga dan semangat kita, dan perasaan itupun akan meledak dan membuat kita sendiri dan orang lain terkejut. Perasaan marah merupakan bagian dari kemanusiaan kita,dan bagian dari lelasi kita dengan orang lain.
ü  Cinta
Cinta merupakan emosi yang membawa kebahagiaan yang terbesar dan perasaan puas yang sangat dalam. Perasaan cinta dapat dialami secara mendalam dan mempengaruhi hidup kita. apa yang disebut dengan “jatuh cinta” menggambarkan apa yang dialami seseorang ketika sedang dikuasai emosi cinta yang hebat.


Biehler (1972) membagi ciri-ciri emosional remaja menjadi dua rentang usia, yaitu 12-15 tahun dan usia 15-18 tahun.
Ciri- ciri emosional remaja berusia 12-15 tahun:
1.      Pada usia ini seorang siswa /anak cenderung banyak murung dan tidak dapat diterka.
2.      Siswa mungkin bertingkah laku kasar untuk menutupi kekurangan dalam hal rasa percaya diri.
3.      Ledakan-ledakan kemarahan mungkin bias terjadi.
4.      Seorang remaja cenderung tidak toleran terhadap orang lain dan membenarkan pendapatnya sendiri.
5.      Siswa-siswa di SMP mulai mengamati guru-guru dan orang tua mereka.
Ciri-ciri emosional remaja usia 15-18 tahun
1.      Pemberontakan remaja merupakan pernyataan-pernyataan dari perubahan yang universal dari masa kanak-kanak ke dewasa.
2.      Karena bertambahnya kebebasan mereka, banyak remaja mengalami konflik dengan orang tuanya.
3.      Sering melamun memikirkan masa depan.

C.  Faktor-faktor yang mempengaruhi kecerdasan  emosi
Goleman (1997) menjelaskan bahwa ada beberapa faktor yang mempengaruhi kecerdasan emosi individu yaitu: (a) Lingkungan keluarga. Kehidupan keluarga merupakan sekolah pertama dalam mempelajari emosi. Kecerdasan emosi dapat diajarkan pada saat masih bayi melalui ekspresi. Peristiwa emosional yang terjadi pada masa anak-anak akan melekat dan menetap secara permanen hingga dewasa. Kehidupan emosional yang dipupuk dalam keluarga sangat berguna bagi anak kelak dikemudian hari. (b) Lingkungan non keluarga. Hal ini yang terkait adalah lingkungan masyarakat dan pendidikan. Kecerdasan emosi ini berkembang sejalan dengan perkembangan fisik dan mental anak. Pembelajaran ini biasanya ditujukan dalam suatu aktivitas bermain peran sebagai seseorang diluar dirinya dengan emosi yang menyertai keadaan orang lain (Goleman, 1997)
Menurut Le Dove (Goleman, 1997) bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi kecerdasan emosi antara lain: (a) Fisik. Secara fisik bagian yang paling menentukan atau paling berpengaruh terhadap kecerdasan emosi seseorang adalah anatomi saraf emosinya. Bagian otak yang digunakan untuk berfikir yaitu konteks (kadang kadang disebut juga neo konteks). Sebagai bagian yang berada dibagian otak yang mengurusi emosi yaitu system limbic, tetapi sesungguhnya antara kedua bagian inilah yang menentukan kecerdasan emosi seseorang. (1) Konteks. Bagian ini berupa bagian berlipat-lipat kira-kira 3 milimeter yang membungkus hemisfer serebral dalam otak. Konteks berperan penting dalam memahami sesuatu secara mendalam, menganalisis mengapa mengalami perasaan tertentu dan selanjutnya berbuat sesuatu untuk mengatasinya. Konteks khusus lobus prefrontal, dapat bertindak sebagai saklar peredam yang memberi arti terhadap situasi emosi sebelum berbuat sesuatu. (2) System limbic. Bagian ini sering disebut sebagai emosi otak yang letaknya jauh didalam hemisfer otak besar dan terutama bertanggung jawab atas pengaturan emosi dan implus. Sistem limbic meliputi hippocampus, tempat berlangsungnya proses pembelajaran emosi dan tempat disimpannya emosi. Selain itu ada amygdala yang dipandang sebagai pusat pengendalian emosi pada otak. (b) Psikis. Kecerdasan emosi selain dipengaruhi oleh kepribadian individu, juga dapat dipupuk dan diperkuat dalam diri individu.
 Berdasarkan uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa terdapat dua faktor yang dapat mempengaruhi kecerdasan emosi seseorang yaitu secara fisik dan psikis. Secara fisik terletak di bagian otak yaitu konteks dan sistem limbic, secara psikis meliputi lingkungan keluarga dan lingkungan non keluarga.

Menurut Dinkmeyer (1965) faktor-faktor yang mempengaruhi kecerdasan emosi anak adalah faktor kondisi fisik dan kesehatan, tingkat intelegensi, lingkungan sosial, dan keluarga. Anak yang memiliki kesehatan yang kurang baik dan sering lelah cenderung menunjukkan reaksi emosional yang berlebihan. Anak yang dibesarkan dalam keluarga yang menerapkan disiplin yang berlebihan cenderung lebih emosional. Pola asuh orang tua berpengaruh terhadap kecerdasan emosi anak dimana anak yang dimanja, diabaikan atau dikontrol dengan ketat (overprotective) dalam keluarga cenderung menunjukkan reaksi emosional yang negatif (Dinkmeyer, 1965).

Dari factor gen dan lingkungan tersebut kesempatan belajar merupakan faktor yang lebih penting. Karena belajar merupakan sesuatu yang positif dan sekaligus merupakan tindakan preventif. Maksudnya adalah bahwa apabila reaksi emosional yang tidak diinginkan dipelajari, kemudian membaur kedalam pola emosi anak, akan semakin sulit mengubahnya dengan bertambah usia anak, bahkan reaksi emosional tersebut akan tertanam kukuh pada masa dewasa dan untuk mengubahnya diperlukan bantuan ahli.

Menurut Goleman (Nggermanto, 2002), kecerdasan emosi dapat dikembangkan, lebih menantang, dan lebih prospek dibandingkan kecerdasan akademik sebab kecerdasan emosi memberi kontribusi lebih besar bagi kesuksesan seseorang. Menurut Agustian (2007) faktor-faktor yang berpengaruh dalam peningkatan kecerdasan emosi yaitu:

a.       Factor psikologis
Faktor psikologis merupakan faktor yang berasal dari dalam diri individu. Faktor internal ini akan membantu individu dalam mengelola, mengontrol, mengendalikan dan mengkoordinasikan keadaan emosi agar termanifestasi dalam perilaku secara efektif. Menurut Goleman (2007) kecerdasan emosi erat kaitannya dengan keadaan otak emosional. Bagian otak yang mengurusi emosi adalah sistem limbik. Sistem limbik terletak jauh dalam hemisfer otak besar dan terutama bertanggung jawab atas pengaturan emosi dan impuls. Peningkatan kecerdasan emosi secara fisiologis dapat dilakukan dengan puasa. Puasa tidak hanya mengendalikan dorongan fisiologis manusia, namun juga mampu mengendalikan kekuasaan impuls emosi. Puasa yang dimaksud salah satunya yaitu puasa sunah Senin Kamis.

b.      Factor pelatihan emosi
Kegiatan yang dilakukan secara berulang-ulang akan menciptakan kebiasaan, dan kebiasaan rutin tersebut akan menghasilkan pengalaman yang berujung pada pembentukan nilai (value). Reaksi emosional apabila diulang-ulang pun akan berkembang menjadi suatu kebiasaan. Pengendalian diri tidak muncul begitu saja tanpa dilatih. Melalui puasa sunah Senin Kamis, dorongan, keinginan, maupun reaksi emosional yang negatif dilatih agar tidak dilampiaskan begitu saja sehingga mampu menjaga tujuan dari puasa itu sendiri. Kejernihan hati yang terbentuk melalui puasa sunah Senin Kamis akan menghadirkan suara hati yang jernih sebagai landasan penting bagi pembangunan kecerdasan emosi.

c.       Factor pendidikan
Pendidikan dapat menjadi salah satu sarana belajar individu untuk mengembangkan kecerdasan emosi. Individu mulai dikenalkan dengan berbagai bentuk emosi dan bagaimana mengelolanya melalui pendidikan. Pendidikan tidak hanya berlangsung di sekolah, tetapi juga di lingkungan keluarga dan masyarakat. Sistem pendidikan di sekolah tidak boleh hanya menekankan pada kecerdasan akademik saja, memisahkan kehidupan dunia dan akhirat, serta menjadikan ajaran agama sebagai ritual saja. Pelaksanaan puasa sunah Senin Kamis yang berulang-ulang dapat membentuk pengalaman keagamaan yang memunculkan kecerdasan emosi. Puasa sunah Senin Kamis mampu mendidik individu untuk memiliki kejujuran, komitmen, visi, kreativitas, ketahanan mental, kebijaksanaan, keadilan, kepercayaan, peguasaan diri atau sinergi, sebagai bagian dari pondasi kecerdasan emosi. 

D.  Pentingnya meningkatkan kecerdasan emosional
Kecerdasan emosional (EQ) lebih berfokus pada membangun hubungan harmonis dan selaras antar manusia secara horizontal sehingga kecerdasan intelegensi pasti bermanfaat. Kecerdasan emosional dapat ditunjukkan melalui kemampuan seseoarang untuk menyadari apa yang dia dan orang lain rasakan. Sehingga itu, peserta didik memiliki tingkat kecerdasan emosional yang lebih baik cenderung dapat lebih terampil  dalam menenangkan dirinya dengan cepat, jarang tertular penyakit, lebih terampil dalam memusatkan perhatian, lebih cakap dalam memahami orang lain dan untuk kerja akademis di sekolah menjadi lebih baik.

Keterampilan dasar kecerdasan emosional tidak dapat dimiliki secara tiba-tiba, tetapi membutuhkan proses dalam mempelajarinya, dan lingkungan yang membentuk kecerdasan emosional tersebut besar pengaruhnya. Dan ada beberapa cara yang dapat dilakukan untuk mengembangkan kecerdasan emosional dalam pembelajaran, yakni: 1). Menyediakan lingkungan yang kondusif;  2). Menciptakan iklim pembelajaran yang demokratis; 3). Mengembangkan sikap empati, dan merasakan apa yang sedang dirasakan peserta didik; 4). Membantu peserta didik menemukan solusi dalam setiap masalah yang dihadapinya; 5). Melibatkan peserta didik secara optimal dalam pembelajaran, baik secara fisik, sosial, maupun emosional; 6). Merespon setiap perilaku peserta didik secara positif, dan menghindari respon negatif;  7). Menjadi teladan dalam menegakkan aturan dan disiplin dalam pembelajaran; dan 8). Memberi kebebasan berfikir kreatif serta partisipasi secara aktif.

Semua hal tersebut memungkinkan peserta didik mengembangkan seluruh potensi kecerdasannya secara optimal. Dari proses belajar mengajar di sekolah sering ditemukan peserta didik yang tidak dapat meraih prestasi belajar yang setara dengan kemampuan intelegensinya. Ada peserta didik yang mempunyai kemampuan intelegensi tinggi, tetapi memperoleh prestasi belajar yang relatif rendah. Dan ada pula peserta didik  yang meski kemampuan intelegensinya relatif rendah, namun dapat meraih prestasi belajar yang relatif tinggi. Itu sebabnya taraf intelegensi bukan merupakan satu-satunya faktor yang menentukan keberhasilan.

Menurut Goleman (2000:44) kecerdasan intelektual (IQ) hanya menyumbang 20% bagi kesuksesan sedangkan 80% adalah sumbangan faktor kekuatan-kekuatan lain, di antaranya adalah kecerdasan emosional atau Emotional Quotient (EQ), yakni kemampuan memotivasi diri sendiri, mengatasi frustasi, mengontrol desakan hati, mengatur suasana hati (mood), berempati, serta kemampuan bekerja sama.

E.Mulyasa (2006:162) menyatakan, kecerdasan emosional dapat menjadikan peserta didik memiliki sikap: 1). Jujur, disiplin, dan tulus pada diri sendiri, membangun kekuatan dan  kesadaran diri, mendengarkan suara hati, hormat dan tanggung jawab; 2). Memantapkan diri, maju terus, ulet, dan membangun inspirasi secara berkesinambungan; 3).  Membangun watak dan kewibawaan,meningkatkan potensi, dan mengintegrasi tujuan belajar ke dalam tujuan hidupnya; 4). Memanfaatkan peluang dan menciptakan masa depan yang lebih cerah.

Sehingga dari sini, kecerdasan emosional (EQ) bukan merupakan lawan kecerdasan intelegensi (IQ), namun keduanya berinteraksi secara dinamis. Sebab, pada kenyataannya perlu diakui, bahwa kecerdasan emosional memiliki peran yang sangat penting untuk mencapai kesuksesan di sekolah maupun di lingkungan masyarakat. 



E.   Kiat-kiat dalam meningkatkan kecerdasan emosional
Untuk meningkatkan kecerdasan emosional dibutuhkan kiat-kiat agar mempermudah dan memaksimalkan peningkatan tersebut, diantaranya sebagai berikut :
1. Mengenali emosi diri
Keterampilan ini meliputi kemampuan anda untuk mengidentifikasi apa yang sesungguhnya anda rasakan. Setiap kali suatu emosi tertentu muncul dalam pikiran, Anda harus dapat menangkap pesan apa yang ingin disampaikan. Berikut adalah beberapa contoh pesan dari emosi: takut, sakit hati, marah, frustasi, kecewa, rasa bersalah, kesepian.

2. Melepaskan emosi negatif
Keterampilan ini berkaitan dengan kemampuan anda untuk memahami dampak dari emosi negatif terhadap diri anda. Sebagai contoh keinginan untuk memperbaiki situasi ataupun memenuhi target pekerjaan yang membuat Anda mudah marah ataupun frustasi seringkali justru merusak hubungan Anda dengan bawahan maupun atasan serta dapat menyebabkan stres. Jadi, selama anda dikendalikan oleh emosi negatif Anda justru anda tidak bisa mencapai potensi terbaik dari diri anda. Solusinya, lepaskan emosi negatif melalui teknik pendayagunaan pikiran bawah sadar sehingga anda maupun orang-orang di sekitar Anda tidak menerima dampak negatif dari emosi negatif yang muncul.

3. Mengelola emosi diri sendiri
Anda jangan pernah menganggap emosi negatif atau positif itu baik atau buruk. Emosi adalah sekedar sinyal bagi kita untuk melakukan tindakan untuk mengatasi penyebab munculnya perasaan itu. Jadi emosi adalah awal bukan hasil akhir dari kejadian atau peristiwa. Kemampuan kita untuk mengendalikan dan mengelola emosi dapat membantu Anda mencapai kesuksesan.
Ada beberapa langkah dalam mengelola emosi diri sendiri, yaitu:
Pertama adalah menghargai emosi dan menyadari dukungannya kepada Anda.

Kedua berusaha mengetahui pesan yang disampaikan emosi, dan meyakini bahwa kita pernah berhasil menangani emosi ini sebelumnya. Ketiga adalah dengan bergembira kita mengambil tindakan untuk menanganinya. Kemampuan kita mengelola emosi adalah bentuk pengendalian diri yang paling penting dalam manajemen diri, karena kitalah sesungguhnya yang mengendalikan emosi atau perasaan kita, bukan sebaliknya.

4. Memotivasi diri sendiri
Menata emosi sebagai alat untuk mencapai tujuan merupakan hal yang sangat penting dalam kaitan untuk memberi perhatian, untuk memotivasi diri sendiri dan menguasai diri sendiri, dan untuk berkreasi. Kendali diri emosional--menahan diri terhadap kepuasan dan mengendalikan dorongan hati--adalah landasan keberhasilan dalam berbagai bidang.
Ketrampilan memotivasi diri memungkinkan terwujudnya kinerja yang tinggi dalam segala bidang. Orang-orang yang memiliki ketrampilan ini cenderung jauh lebih produktif dan efektif dalam hal apapun yang mereka kerjakan.

5. Mengenali emosi orang lain
Mengenali emosi orang lain berarti kita memiliki empati terhadap apa yang dirasakan orang lain. Penguasaan ketrampilan ini membuat kita lebih efektif dalam berkomunikasi dengan orang lain. Inilah yang disebut sebagai komunikasi empatik. Berusaha mengerti terlebih dahulu sebelum dimengerti. Ketrampilan ini merupakan dasar dalam berhubungan dengan manusia secara efektif.

6. Mengelola emosi orang lain
Jika ketrampilan mengenali emosi orang lain merupakan dasar dalam berhubungan antar pribadi, maka ketrampilan mengelola emosi orang lain merupakan pilar dalam membina hubungan dengan orang lain. Manusia adalah makhluk emosional. Semua hubungan sebagian besar dibangun atas dasar emosi yang muncul dari interaksi antar manusia.

7. Ketrampilan mengelola emosi orang lain merupakan kemampuan yang dahsyat jika kita dapat mengoptimalkannya. Sehingga kita mampu membangun hubungan antar pribadi yang kokoh dan berkelanjutan. Dalam dunia industri hubungan antar korporasi atau organisasi sebenarnya dibangun atas hubungan antar individu. Semakin tinggi kemampuan individu dalam organisasi untuk mengelola emosi orang lain.

8. Memotivasi orang lain
Ketrampilan memotivasi orang lain adalah kelanjutan dari ketrampilan mengenali dan mengelola emosi orang lain. Ketrampilan ini adalah bentuk lain dari kemampuan kepemimpinan, yaitu kemampuan menginspirasi, mempengaruhi dan memotivasi orang lain untuk mencapai tujuan bersama. Hal ini erat kaitannya dengan kemampuan membangun kerja sama tim yang tangguh dan andal.
Jadi, sesungguhnya delapan ketrampilan ini merupakan langkah-langkah yang berurutan. Anda tidak dapat memotivasi diri sendiri kalau Anda tidak dapat mengenali dan mengelola emosi diri sendiri. Setelah Anda memiliki kemampuan dalam memotivasi diri, barulah kita dapat memotivasi orang lain.


F.     Upaya Guru Untuk Mengembangkan Kecerdasan Emosi

Menyadari akan arti pentingnya guru untuk mengembangka kecerdasan dan kreativitas siswanya, maka sebagai calon guru kita dianjurkan untuk meluangkan waktu secara teratur bagi siswa-siswi kita untuk mengembangkan kemampuan bahasa misalnya, biasakan agar guru rajin menjalin percakapan atau komunikasi kepada peserta didik, siapa pun dia tanpa memandang suku,jenis kelamin ,dll.. Sementara untuk memuaskan kebutuhan ilmiahnya, mereka bisa diajak menjelajahi dunianya dengan cara melakukan eksperimen. Kaitkan semua kegiatan diatas sebagai suatu aktivitas yang menyenangkan dan selalu ditunggu oleh siswa. Ini adalah hal-hal yang merangsang pengembangan kecerdasan siswa
Sehubungan dengan emosi remaja yang cenderung benyak melamun dan sulit diterka maka, satu-satunya hal yang dapat guru lakukan adalah memperlakukan siswa seperti orang dewasa yang penuh dengan rasa tenggung jawab. Guru dapat membantu mereka yang bertingkah laku kasar dengan jalan mencapai keberhasilan dalam perkerjaan atau tugas-tugas sekolah, sehingga mereka menjadi lebih mudah ditangani, salah satu cara yang mendasar adalah dengan mendorong mereka untuk bersaing dengan diri sendiri. Untuk menunjukan kematangannya, remaja terutama laki-laki sering terdorong untuk menentang otoritas orang dewasa, seseorang guru SMP atau SMA akan dianggap dalam posisi otoritas. Sehingga merupakan target dari pemberontakan mereka.
Cara yang paling cepat untuk menghadapi pemberontakan para remaja adalah:
1)  Mencoba untuk mengerti mereka
2) Melakukan segala sesuatu untuk membantu mereka agar berprestasi dalam bidang ilmu yang diajarkan. Jika para guru menyadari untuk mengembangkan keterampilan-keterampilan tersebut pada diri siswa walaupun dalam cara-cara yang amat terbatas, pemberontakan dan sikap permusuhan siswa di kelas akan dapat dikurangi. Seorang siswa yang merasa bingung terhadap kondisi tersebut mungkin merasa perlu menceritakan penderitaannya, termasuk rahasia-rahasia pribadinya kepada orang lain. Oleh karena itu, seseorang guru pembimbing hendaknya tampil berfungsi dan bersikap seperti pendengar yang simpatik.
Apabila terjadi ledakan-ledakan kemarahan sebaiknya kita memperkecil ledakan emosi tersebut, misalnya dengan jalan tindakan lemah lembut dan bijaksana, mengubah pokok pembicaraan, dan memulai aktivitas baru. Jika kemarahan siswa tidak juga reda , guru dapat meminta bantuan kepada petugas bimbingan penyuluhan.






BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
  1. Kecerdasan emosional adalah kemampuan seseorang untuk menerima, menilai, mengelola, serta mengontrol emosi dirinya dan orang lain di sekitarnya.
  2. Macam-macam emosi terbagi menjkadi empat yaitu marah, takut, cinta, dan depresi. 
  3. Faktor yang mempengaruhi kecerdasan emosi yaitu faktor genetik, faktor lingkungan, faktor belajar, latihan, dan peran orang tua, guru sebagai pihak lain yang ikut terlibat dalam memupuk kecerdasan emosi.
  4. Memanfaatkan emosi dengan baik dapat memberikan kenikmatan yang hakiki yang bersumber dari interaksi antara orang per orang. Kita bisa menikmati pengalaman bernegosiasi dan keuntungan personal dari persahabatan.
  5. Upaya guru untuk mengembangkan kecerdasan dan kreativitas siswanya yaitu guru meluangkan waktu secara teratur bagi siswa-siswi untuk mengembangkan kemampuan bahasa tanpa memandang suku,jenis kelamin ,dll, menjelajahi dunianya ilmiah dengan cara melakukan eksperimen sehingga peserta didik senang dan antusias untuk belajar sehingga dapat merangsang kecerdasan peserta didik, memperlakukan siswa seperti orang dewasa yang penuh dengan rasa tenggung jawab dan mendorong mereka untuk bersaing dengan diri sendiri.




DAFTAR PUSTAKA

Anonim.2012. dimensi-dimensi kecerdasan emosional (diakses dari http://www.psychologymania.com pada tanggal 17 Mei 2013).
Anonim.2012. makalah psikologi (diakses dari http://beranimimpilatansa.blogspot.com pada tanggal 17 Mei 2013).
Ginanjar, Ary Agustian.2008. Rahasia Sukses Membangun Kecerdasan Emosi dan Spritual. Jakarta: Arga.
Prayitno. 2009. Dasar Teori dan Praksis Pendidikan. Jakarta : PT Grasindo.
Sunarto, H dan B.Agung Hartono. 2008. Perkembangan Peserta Didik. Jakarta : Rineka Cipta.
Winarti, Septi.2012. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kecerdasan Emosi (diakses dari http://www.blogger.com pada tanggal 19 Mei 2013).