oleh: ZURRIYATUN THOYIBAH
BAB I
PENDAHULUAN
A.
LATAR
BELAKANG
Banyak contoh di
sekitar kita membuktikan bahwa orang yang memiliki kecerdasan otak saja,
memiliki gelar tinggi, belum tentu sukses berkiprah di dunia pekerjaan.
Seringkali justru yang berpendidikan formal lebih rendah, banyak ternyata yang
berhasil. Kebanyakan program pendidikan hanya berpusat pada kecerdasan akal
(IQ), padahal diperlukan pula bagaimana mengembangkan kecerdasan emosi seperti:
ketangguhan, inisiatif, optimism, kemampuan beradaptasi.
Kecerdasan memungkinkan manusia maju
dalam bersikap, berbuat, dan berkarya secara dinamis dan konstruktif. Beberapa
kecerdasan tersebut antara lain: kecerdasan intelegensi, emosi, spiritual,
linguistik, bodi kinestik, dan interpersonal, kecerdasan EQ. Seorang siswa
sebagai generasi penerus bangsa, sepatutnya mampu mengelola aspek kognitif,
afektif dan psikomotorik yang dimilikinya secara baik. Usia siswa yang
tergolong remaja berkisar antara 15-18 tahun. Masa remaja dikenal dengan masa
storm dan stress, masa-masa terjadi pergolakan emosi yang diiringi dengan
pertumbuhan fisik yang pesat dan bervariasi. Pergolakan emosi yang terjadi pada
remaja tidak terlepas dari bermacam-macam pengaruh, seperti lingkungan tempat
tinggal, keluarga, sekolah dan teman-teman sebaya serta aktivitas-aktivitas
yang dilakukannya dalam kehidupannya sehari-hari (Mu’tadin, 2002: 1). Hurlock
(2004: 207) menyatakan bahwa “masa remaja sebagai periode perubahan, yang salah
satunya adalah meningginya emosi”. Semoga makalah ini
bermanfaat bagi kita semua.
B.
RUMUSAN
MASALAH
1. Apa
yang dimaksud dengan emosi?
2. Apa saja faktor yang mempengaruhi
kecerdasan emosi?
3. Mengapa penting
untuk meningkatkan kecerdasan emosional?
4. Bagaimana kiat-kiat dalam meningkatkan kecerdasan emosional?
5. Bagaimana kondisi emosional
seseorang?
6. Bagaimana upaya pengembangan
kecerdasan emosional untuk guru?
C.
TUJUAN
1. Menambah
pengetahuan tentang kecerdasan emosional.
2. Mengetahui
pengertian kecerdasan emosional.
3. Mengetahui
pentingnya
meningkatkan kecerdasan emosional.
4. Mengetahui bagaimana
upaya pengembangan kecerdasan emosional untuk guru.
5. Mengetahui
kiat-kiat meningkatkan kecerdasan emosional.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Emosi
Kata emosi berasal dari
bahasa latin, yaitu emovere, yang berarti bergerak menjauh. Arti kata ini
menyiratkan bahwa kecenderungan bertindak merupakan hal mutlak dalam emosi. Beberapa
tokoh mengemukakan tentang macam-macam emosi, antara lain Descrates. Menurut
Descrates, emosi terbagi atas : Desire (hasrat), hate (benci), Sorrow
(sedih/duka), Wonder (heran), Love (cinta) dan Joy (kegembiraan). Sedangkan JB
Watson mengemukakan tiga macam emosi, yaitu : fear (ketakutan),
Rage(kemarahan), Love (cinta).
Istilah “Kecerdasan Emosional” pertama kali
dilontarkan pada tahun 1990 oleh dua orang psikolog yakni Peter Salovey dan
John Mayer . Daniel Goleman, emosi adalah suatu perasaan dan
fikiran yang khas, keadaan psikologis dan biologis yang merupakan
dorongan untuk bereaksi atau bertindak karena ada nya rangsangan baik dari
dalam maupun dari luar individu, dimana hal tersebut bisa berupa; marah, sedih,
bahagia, takut, jengkel, malu, terkejut, cinta, benci, puas yang secara
keseluruhan merupakan respon atas stimulus yang di terima. Emosi merupakan komponen paling penting dalam
bahasan psikologi. Emosi masuk dalam komponen afektif manusia. Emosi merupakan
pusat penggerak di samping motivasi, yang mendasari manusia bertingkah laku.
Menurut Crow & crow (1958)
(dalam Sunarto, 2002:149) emosi adalah “An emotion, is an affective
experience that accompanies generalized inner adjustment and mental
physiological stirred up states in the individual, and that shows it self in
his overt behavior.”
Seperti yang telah diuraikan diatas,
bahwa semua emosi menurut Goleman pada dasarnya adalah dorongan untuk bertindak.
Jadi berbagai macam emosi itu mendorong individu untuk memberikan respon atau
bertingkah laku terhadap stimulus yang ada. Dalam the Nicomachea Ethics
pembahasan Aristoteles secara filsafat tentang kebajikan, karakter dan hidup
yang benar, tantangannya adalah menguasai kehidupan emosional kita dengan
kecerdasan. Nafsu, apabila dilatih dengan baik akan memiliki kebijaksanaan;
nafsu membimbing pemikiran, nilai, dan kelangsungan hidup kita. Tetapi, nafsu
dapat dengan mudah menjadi tak terkendalikan, dan hal itu seringkali terjadi.
Menurut Aristoteles, masalahnya bukanlah mengenai emosionalitas, melainkan
mengenai keselarasan antara emosi dan cara mengekspresikan (Goleman, 2002 :
xvi).
Schönpflug/Schönpflug (1983)
menandai keadaan tergugah tersebut melalui beberapa hal yaitu: (1) pengalaman
subjektif individu yang mengalami, (2) ekspresi verbal, (3) ekspresi nonverbal,
(4) kegiatan individu yang terlihat, dan (5) aktivitas fisiologis. Kelima hal
tersebut akan menyatu dalam keadaan individu tergugah yang disebut aktivasi.
Atkinson et al. (1996) memaparkan
lebih spesifik bahwa emosi terdiri atas beberapa komponen yang tidak
terpisahkan satu sama lain, yaitu: (1) pengalaman subjektif tentang emosi, (2)
respon tubuh internal terutama yang berkaitan dengan sistem saraf otonom, (3)
segi kognisi dari emosi dan situasi yang berkaitan dengan emosi, (4) ekspresi
wajah, (5) reaksi emosi, dan (6) kecenderungan bertindak.
Jadi,
kecerdasan emosional adalah kemampuan merasakan, memahami, dan secara selektif
menerapkan daya dan kepekaan emosi sebagai sumber energi dan pengaruh yang
manusiawi, kecerdasan emosi menuntut pemilikan perasaan, untuk belajar
mengakui, menghargai perasaan pada diri dan orang lain serta menanggapinya
dengan terpat, menerapkan secara efektif energi emosi dalam kehidupan
sehari-hari.
B.
Kondisi Emosional
Berdasarkan
aktivitasnya, tingkah laku emosional dapat dibagi menjadi empat macam,yaitu:
(1)Marah, orang
bergerak menentang sumber frustasi
(2)Takut,orang
bergerak meninggalkan sumber frustasi
(3)Cinta, orang
bergerak menuju sumber kesenangan
(4)Depresi,orang
menghentikan resfons-resfons terbukanya dan mengalihkan emosi kedalam dirinya
sendiri (Mahmud,1990:167).
Dari hasil penelitiannya, John B.
Watson (dalam Mahmud, 1990) menemukan bahwa tiga dari keempat respons emosional
tersebut terdapat pada anak-anak, yaitu:
ü Takut
Pada dasarnya, rasa
takut itu bermacam-macam.Ada yang timbul karena anak kecil sering ditakut-takuti
atau karena berlakunya berbagai pantangan di rumah. Akan tetapi, ada juga rasa
takut “naluriah” yang terpendam dalam hati sanubari setiap insan .seperti, rasa
takut akan kegelapan , takut berada di tempat sepi tanpa teman atau yang
lainnya.
ü Marah
Pada umumnya, luapan
kemarahan lebih sering terlihat ketimbang rasa takut.kemarahan selalu kita
lihat berhubungan dengan keadaan tertentu.kemarahan bisa juga timbul
sehubungan dengan keadaan yang sebetulnya tidak lazim untuk menimbulkan
kemarahan.
Kemarahan merupakan
emosi yang amat sukar untuk menerima dan mengungkapkannya. Rasamarah merupakan
menunjukkan bahwa perasaan kita tersinggung oleh seseorang, bahwa seseorang
sudah tidak baik. Pada waktu kita tidak mau mengakui perasaan marah atau tidak
mau mengungkapkannya, perasaan marah itu mengumpal atau berkumpul.jika kita
memendamnya, perasaan marah itu lama kelamaan akan menghilangkan tenaga
dan semangat kita, dan perasaan itupun akan meledak dan membuat kita sendiri
dan orang lain terkejut. Perasaan marah merupakan bagian dari kemanusiaan
kita,dan bagian dari lelasi kita dengan orang lain.
ü Cinta
Cinta merupakan emosi
yang membawa kebahagiaan yang terbesar dan perasaan puas yang sangat dalam.
Perasaan cinta dapat dialami secara mendalam dan mempengaruhi hidup kita. apa
yang disebut dengan “jatuh cinta” menggambarkan apa yang dialami seseorang
ketika sedang dikuasai emosi cinta yang hebat.
Biehler (1972)
membagi ciri-ciri emosional remaja menjadi dua rentang usia, yaitu 12-15 tahun
dan usia 15-18 tahun.
Ciri- ciri
emosional remaja berusia 12-15 tahun:
1. Pada
usia ini seorang siswa /anak cenderung banyak murung dan tidak dapat diterka.
2. Siswa
mungkin bertingkah laku kasar untuk menutupi kekurangan dalam hal rasa percaya
diri.
3. Ledakan-ledakan
kemarahan mungkin bias terjadi.
4. Seorang
remaja cenderung tidak toleran terhadap orang lain dan membenarkan pendapatnya
sendiri.
5. Siswa-siswa
di SMP mulai mengamati guru-guru dan orang tua mereka.
Ciri-ciri
emosional remaja usia 15-18 tahun
1. Pemberontakan
remaja merupakan pernyataan-pernyataan dari perubahan yang universal dari masa
kanak-kanak ke dewasa.
2. Karena
bertambahnya kebebasan mereka, banyak remaja mengalami konflik dengan orang
tuanya.
3. Sering
melamun memikirkan masa depan.
C.
Faktor-faktor yang mempengaruhi kecerdasan emosi
Goleman
(1997) menjelaskan bahwa ada beberapa faktor yang mempengaruhi kecerdasan emosi
individu yaitu: (a) Lingkungan keluarga. Kehidupan keluarga merupakan sekolah
pertama dalam mempelajari emosi. Kecerdasan emosi dapat diajarkan pada saat
masih bayi melalui ekspresi. Peristiwa emosional yang terjadi pada masa
anak-anak akan melekat dan menetap secara permanen hingga dewasa. Kehidupan
emosional yang dipupuk dalam keluarga sangat berguna bagi anak kelak dikemudian
hari. (b) Lingkungan non keluarga. Hal ini yang terkait adalah lingkungan
masyarakat dan pendidikan. Kecerdasan emosi ini berkembang sejalan dengan
perkembangan fisik dan mental anak. Pembelajaran ini biasanya ditujukan dalam
suatu aktivitas bermain peran sebagai seseorang diluar dirinya dengan emosi
yang menyertai keadaan orang lain (Goleman, 1997)
Menurut
Le Dove (Goleman, 1997) bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi kecerdasan emosi
antara lain: (a) Fisik. Secara fisik bagian yang paling menentukan atau paling
berpengaruh terhadap kecerdasan emosi seseorang adalah anatomi saraf emosinya.
Bagian otak yang digunakan untuk berfikir yaitu konteks (kadang kadang disebut
juga neo konteks). Sebagai bagian yang berada dibagian otak yang mengurusi
emosi yaitu system limbic, tetapi sesungguhnya antara kedua bagian inilah yang
menentukan kecerdasan emosi seseorang. (1) Konteks. Bagian ini berupa bagian
berlipat-lipat kira-kira 3 milimeter yang membungkus hemisfer serebral dalam
otak. Konteks berperan penting dalam memahami sesuatu secara mendalam, menganalisis
mengapa mengalami perasaan tertentu dan selanjutnya berbuat sesuatu untuk
mengatasinya. Konteks khusus lobus prefrontal, dapat bertindak sebagai saklar
peredam yang memberi arti terhadap situasi emosi sebelum berbuat sesuatu. (2)
System limbic. Bagian ini sering disebut sebagai emosi otak yang letaknya jauh
didalam hemisfer otak besar dan terutama bertanggung jawab atas pengaturan
emosi dan implus. Sistem limbic meliputi hippocampus, tempat berlangsungnya
proses pembelajaran emosi dan tempat disimpannya emosi. Selain itu ada amygdala
yang dipandang sebagai pusat pengendalian emosi pada otak. (b) Psikis.
Kecerdasan emosi selain dipengaruhi oleh kepribadian individu, juga dapat
dipupuk dan diperkuat dalam diri individu.
Berdasarkan uraian tersebut dapat disimpulkan
bahwa terdapat dua faktor yang dapat mempengaruhi kecerdasan emosi seseorang
yaitu secara fisik dan psikis. Secara fisik terletak di bagian otak yaitu
konteks dan sistem limbic, secara psikis meliputi lingkungan keluarga dan
lingkungan non keluarga.
Menurut
Dinkmeyer (1965) faktor-faktor yang mempengaruhi kecerdasan emosi anak adalah
faktor kondisi fisik dan kesehatan, tingkat intelegensi, lingkungan sosial, dan
keluarga. Anak yang memiliki kesehatan yang kurang baik dan sering lelah cenderung
menunjukkan reaksi emosional yang berlebihan. Anak yang dibesarkan dalam
keluarga yang menerapkan disiplin yang berlebihan cenderung lebih emosional.
Pola asuh orang tua berpengaruh terhadap kecerdasan emosi anak dimana anak yang
dimanja, diabaikan atau dikontrol dengan ketat (overprotective) dalam keluarga
cenderung menunjukkan reaksi emosional yang negatif (Dinkmeyer, 1965).
Dari factor gen dan lingkungan
tersebut kesempatan belajar merupakan faktor yang lebih penting. Karena belajar
merupakan sesuatu yang positif dan sekaligus merupakan tindakan preventif.
Maksudnya adalah bahwa apabila reaksi emosional yang tidak diinginkan
dipelajari, kemudian membaur kedalam pola emosi anak, akan semakin sulit
mengubahnya dengan bertambah usia anak, bahkan reaksi emosional tersebut akan
tertanam kukuh pada masa dewasa dan untuk mengubahnya diperlukan bantuan ahli.
Menurut Goleman (Nggermanto, 2002),
kecerdasan emosi dapat dikembangkan, lebih menantang, dan lebih prospek
dibandingkan kecerdasan akademik sebab kecerdasan emosi memberi kontribusi
lebih besar bagi kesuksesan seseorang. Menurut Agustian (2007) faktor-faktor
yang berpengaruh dalam peningkatan kecerdasan emosi yaitu:
a.
Factor
psikologis
Faktor psikologis merupakan faktor yang berasal dari dalam
diri individu. Faktor internal ini akan membantu individu dalam mengelola,
mengontrol, mengendalikan dan mengkoordinasikan keadaan emosi agar
termanifestasi dalam perilaku secara efektif. Menurut Goleman (2007) kecerdasan
emosi erat kaitannya dengan keadaan otak emosional. Bagian otak
yang mengurusi emosi adalah sistem limbik. Sistem limbik terletak jauh dalam
hemisfer otak besar dan terutama bertanggung jawab atas pengaturan emosi dan
impuls. Peningkatan kecerdasan emosi secara fisiologis dapat dilakukan dengan
puasa. Puasa tidak hanya mengendalikan dorongan fisiologis manusia, namun juga
mampu mengendalikan kekuasaan impuls emosi. Puasa yang dimaksud salah satunya
yaitu puasa sunah Senin
Kamis.
b.
Factor
pelatihan emosi
Kegiatan yang dilakukan secara berulang-ulang akan
menciptakan kebiasaan, dan kebiasaan rutin tersebut akan menghasilkan
pengalaman yang berujung pada pembentukan nilai (value). Reaksi
emosional apabila diulang-ulang pun akan berkembang menjadi suatu kebiasaan.
Pengendalian diri tidak muncul begitu saja tanpa dilatih. Melalui puasa sunah Senin Kamis, dorongan,
keinginan, maupun reaksi emosional yang negatif dilatih agar tidak dilampiaskan
begitu saja sehingga mampu menjaga tujuan dari puasa itu sendiri. Kejernihan
hati yang terbentuk melalui puasa sunah Senin Kamis akan menghadirkan suara hati yang
jernih sebagai landasan penting bagi pembangunan kecerdasan emosi.
c.
Factor
pendidikan
Pendidikan dapat menjadi salah satu sarana belajar individu
untuk mengembangkan kecerdasan emosi. Individu mulai dikenalkan dengan berbagai
bentuk emosi dan bagaimana mengelolanya melalui pendidikan. Pendidikan
tidak hanya berlangsung di sekolah, tetapi juga di lingkungan keluarga dan
masyarakat. Sistem
pendidikan di sekolah tidak boleh hanya menekankan pada kecerdasan akademik
saja, memisahkan kehidupan dunia dan akhirat, serta menjadikan ajaran agama
sebagai ritual saja. Pelaksanaan puasa sunah Senin Kamis yang berulang-ulang dapat membentuk
pengalaman keagamaan yang memunculkan kecerdasan emosi. Puasa sunah Senin Kamis mampu mendidik
individu untuk memiliki kejujuran, komitmen, visi, kreativitas, ketahanan
mental, kebijaksanaan, keadilan, kepercayaan, peguasaan diri atau sinergi,
sebagai bagian dari pondasi kecerdasan emosi.
D.
Pentingnya
meningkatkan kecerdasan emosional
Kecerdasan emosional (EQ) lebih berfokus pada membangun
hubungan harmonis dan selaras antar manusia secara horizontal sehingga
kecerdasan intelegensi pasti bermanfaat. Kecerdasan emosional dapat ditunjukkan
melalui kemampuan seseoarang untuk menyadari apa yang dia dan orang lain
rasakan. Sehingga itu, peserta didik memiliki tingkat kecerdasan emosional yang
lebih baik cenderung dapat lebih terampil
dalam menenangkan dirinya dengan cepat, jarang tertular penyakit, lebih
terampil dalam memusatkan perhatian, lebih cakap dalam memahami orang lain dan
untuk kerja akademis di sekolah menjadi lebih baik.
Keterampilan
dasar kecerdasan emosional tidak dapat dimiliki secara tiba-tiba, tetapi
membutuhkan proses dalam mempelajarinya, dan lingkungan yang membentuk
kecerdasan emosional tersebut besar pengaruhnya. Dan ada beberapa cara yang
dapat dilakukan untuk mengembangkan kecerdasan emosional dalam pembelajaran,
yakni: 1). Menyediakan lingkungan yang kondusif; 2). Menciptakan iklim pembelajaran yang
demokratis; 3). Mengembangkan sikap empati, dan merasakan apa yang sedang
dirasakan peserta didik; 4). Membantu peserta didik menemukan solusi dalam
setiap masalah yang dihadapinya; 5). Melibatkan peserta didik secara optimal
dalam pembelajaran, baik secara fisik, sosial, maupun emosional; 6). Merespon
setiap perilaku peserta didik secara positif, dan menghindari respon
negatif; 7). Menjadi teladan dalam
menegakkan aturan dan disiplin dalam pembelajaran; dan 8). Memberi kebebasan
berfikir kreatif serta partisipasi secara aktif.
Semua hal
tersebut memungkinkan peserta didik mengembangkan seluruh potensi kecerdasannya
secara optimal. Dari proses belajar mengajar di sekolah sering ditemukan
peserta didik yang tidak dapat meraih prestasi belajar yang setara dengan
kemampuan intelegensinya. Ada peserta didik yang mempunyai kemampuan
intelegensi tinggi, tetapi memperoleh prestasi belajar yang relatif rendah. Dan
ada pula peserta didik yang meski
kemampuan intelegensinya relatif rendah, namun dapat meraih prestasi belajar
yang relatif tinggi. Itu sebabnya taraf intelegensi bukan merupakan
satu-satunya faktor yang menentukan keberhasilan.
Menurut Goleman
(2000:44) kecerdasan intelektual (IQ) hanya menyumbang 20% bagi kesuksesan
sedangkan 80% adalah sumbangan faktor kekuatan-kekuatan lain, di antaranya
adalah kecerdasan emosional atau Emotional Quotient (EQ), yakni kemampuan
memotivasi diri sendiri, mengatasi frustasi, mengontrol desakan hati, mengatur
suasana hati (mood), berempati, serta kemampuan bekerja sama.
E.Mulyasa
(2006:162) menyatakan, kecerdasan emosional dapat menjadikan peserta didik
memiliki sikap: 1). Jujur, disiplin, dan tulus pada diri sendiri, membangun
kekuatan dan kesadaran diri,
mendengarkan suara hati, hormat dan tanggung jawab; 2). Memantapkan diri, maju
terus, ulet, dan membangun inspirasi secara berkesinambungan; 3). Membangun watak dan kewibawaan,meningkatkan
potensi, dan mengintegrasi tujuan belajar ke dalam tujuan hidupnya; 4).
Memanfaatkan peluang dan menciptakan masa depan yang lebih cerah.
Sehingga
dari sini, kecerdasan emosional (EQ) bukan merupakan lawan kecerdasan
intelegensi (IQ), namun keduanya berinteraksi secara dinamis. Sebab, pada
kenyataannya perlu diakui, bahwa kecerdasan emosional memiliki peran yang
sangat penting untuk mencapai kesuksesan di sekolah maupun di lingkungan
masyarakat.
E.
Kiat-kiat dalam
meningkatkan kecerdasan emosional
Untuk meningkatkan kecerdasan emosional dibutuhkan
kiat-kiat agar mempermudah dan memaksimalkan peningkatan tersebut, diantaranya
sebagai berikut :
1.
Mengenali emosi diri
Keterampilan
ini meliputi kemampuan anda untuk mengidentifikasi apa yang sesungguhnya anda
rasakan. Setiap kali suatu emosi tertentu muncul dalam pikiran, Anda harus
dapat menangkap pesan apa yang ingin disampaikan. Berikut adalah beberapa
contoh pesan dari emosi: takut, sakit hati, marah, frustasi, kecewa, rasa
bersalah, kesepian.
2.
Melepaskan emosi negatif
Keterampilan
ini berkaitan dengan kemampuan anda untuk memahami dampak dari emosi negatif
terhadap diri anda. Sebagai contoh keinginan untuk memperbaiki situasi ataupun
memenuhi target pekerjaan yang membuat Anda mudah marah ataupun frustasi
seringkali justru merusak hubungan Anda dengan bawahan maupun atasan serta
dapat menyebabkan stres. Jadi, selama anda dikendalikan oleh emosi negatif Anda
justru anda tidak bisa mencapai potensi terbaik dari diri anda. Solusinya,
lepaskan emosi negatif melalui teknik pendayagunaan pikiran bawah sadar
sehingga anda maupun orang-orang di sekitar Anda tidak menerima dampak negatif
dari emosi negatif yang muncul.
3.
Mengelola emosi diri sendiri
Anda
jangan pernah menganggap emosi negatif atau positif itu baik atau buruk. Emosi
adalah sekedar sinyal bagi kita untuk melakukan tindakan untuk mengatasi
penyebab munculnya perasaan itu. Jadi emosi adalah awal bukan hasil akhir dari
kejadian atau peristiwa. Kemampuan kita untuk mengendalikan dan mengelola emosi
dapat membantu Anda mencapai kesuksesan.
Ada beberapa langkah dalam mengelola emosi diri
sendiri, yaitu:
Pertama adalah menghargai emosi dan menyadari
dukungannya kepada Anda.
Kedua
berusaha mengetahui pesan yang disampaikan emosi, dan meyakini bahwa kita
pernah berhasil menangani emosi ini sebelumnya. Ketiga adalah dengan bergembira
kita mengambil tindakan untuk menanganinya. Kemampuan kita mengelola emosi
adalah bentuk pengendalian diri yang paling penting dalam manajemen diri,
karena kitalah sesungguhnya yang mengendalikan emosi atau perasaan kita, bukan
sebaliknya.
4.
Memotivasi diri sendiri
Menata
emosi sebagai alat untuk mencapai tujuan merupakan hal yang sangat penting
dalam kaitan untuk memberi perhatian, untuk memotivasi diri sendiri dan
menguasai diri sendiri, dan untuk berkreasi. Kendali diri emosional--menahan
diri terhadap kepuasan dan mengendalikan dorongan hati--adalah landasan
keberhasilan dalam berbagai bidang.
Ketrampilan memotivasi
diri memungkinkan terwujudnya kinerja yang tinggi dalam segala bidang.
Orang-orang yang memiliki ketrampilan ini cenderung jauh lebih produktif dan
efektif dalam hal apapun yang mereka kerjakan.
5.
Mengenali emosi orang lain
Mengenali
emosi orang lain berarti kita memiliki empati terhadap apa yang dirasakan orang
lain. Penguasaan ketrampilan ini membuat kita lebih efektif dalam berkomunikasi
dengan orang lain. Inilah yang disebut sebagai komunikasi empatik. Berusaha
mengerti terlebih dahulu sebelum dimengerti. Ketrampilan ini merupakan dasar
dalam berhubungan dengan manusia secara efektif.
6.
Mengelola emosi orang lain
Jika
ketrampilan mengenali emosi orang lain merupakan dasar dalam berhubungan antar
pribadi, maka ketrampilan mengelola emosi orang lain merupakan pilar dalam
membina hubungan dengan orang lain. Manusia adalah makhluk emosional. Semua
hubungan sebagian besar dibangun atas dasar emosi yang muncul dari interaksi
antar manusia.
7.
Ketrampilan mengelola emosi orang lain merupakan kemampuan yang dahsyat jika kita
dapat mengoptimalkannya. Sehingga kita mampu membangun hubungan antar pribadi
yang kokoh dan berkelanjutan. Dalam dunia industri hubungan antar korporasi
atau organisasi sebenarnya dibangun atas hubungan antar individu. Semakin
tinggi kemampuan individu dalam organisasi untuk mengelola emosi orang lain.
8.
Memotivasi orang lain
Ketrampilan
memotivasi orang lain adalah kelanjutan dari ketrampilan mengenali dan
mengelola emosi orang lain. Ketrampilan ini adalah bentuk lain dari kemampuan
kepemimpinan, yaitu kemampuan menginspirasi, mempengaruhi dan memotivasi orang
lain untuk mencapai tujuan bersama. Hal ini erat kaitannya dengan kemampuan
membangun kerja sama tim yang tangguh dan andal.
Jadi, sesungguhnya delapan ketrampilan ini merupakan
langkah-langkah yang berurutan. Anda tidak dapat memotivasi diri sendiri kalau
Anda tidak dapat mengenali dan mengelola emosi diri sendiri. Setelah Anda
memiliki kemampuan dalam memotivasi diri, barulah kita dapat memotivasi orang
lain.
F.
Upaya Guru
Untuk Mengembangkan Kecerdasan Emosi
Menyadari akan arti pentingnya guru untuk mengembangka
kecerdasan dan kreativitas siswanya, maka sebagai calon guru kita dianjurkan
untuk meluangkan waktu secara teratur bagi siswa-siswi kita untuk mengembangkan
kemampuan bahasa misalnya, biasakan agar guru rajin menjalin percakapan atau
komunikasi kepada peserta didik, siapa pun dia tanpa memandang suku,jenis
kelamin ,dll.. Sementara untuk memuaskan kebutuhan ilmiahnya, mereka bisa
diajak menjelajahi dunianya dengan cara melakukan eksperimen. Kaitkan semua
kegiatan diatas sebagai suatu aktivitas yang menyenangkan dan selalu ditunggu
oleh siswa. Ini adalah hal-hal yang merangsang pengembangan kecerdasan siswa
Sehubungan
dengan emosi remaja yang cenderung benyak melamun dan sulit diterka maka,
satu-satunya hal yang dapat guru lakukan adalah memperlakukan siswa seperti
orang dewasa yang penuh dengan rasa tenggung jawab. Guru dapat membantu mereka
yang bertingkah laku kasar dengan jalan mencapai keberhasilan dalam perkerjaan
atau tugas-tugas sekolah, sehingga mereka menjadi lebih mudah ditangani, salah
satu cara yang mendasar adalah dengan mendorong mereka untuk bersaing dengan
diri sendiri. Untuk menunjukan kematangannya, remaja terutama laki-laki sering
terdorong untuk menentang otoritas orang dewasa, seseorang guru SMP atau SMA
akan dianggap dalam posisi otoritas. Sehingga merupakan target dari
pemberontakan mereka.
Cara
yang paling cepat untuk menghadapi pemberontakan para remaja adalah:
1) Mencoba untuk mengerti mereka
2) Melakukan segala sesuatu untuk membantu
mereka agar berprestasi dalam bidang ilmu yang diajarkan. Jika para guru
menyadari untuk mengembangkan keterampilan-keterampilan tersebut pada diri
siswa walaupun dalam cara-cara yang amat terbatas, pemberontakan dan sikap
permusuhan siswa di kelas akan dapat dikurangi. Seorang siswa yang merasa
bingung terhadap kondisi tersebut mungkin merasa perlu menceritakan
penderitaannya, termasuk rahasia-rahasia pribadinya kepada orang lain. Oleh
karena itu, seseorang guru pembimbing hendaknya tampil berfungsi dan bersikap
seperti pendengar yang simpatik.
Apabila
terjadi ledakan-ledakan kemarahan sebaiknya kita memperkecil ledakan emosi
tersebut, misalnya dengan jalan tindakan lemah lembut dan bijaksana, mengubah
pokok pembicaraan, dan memulai aktivitas baru. Jika kemarahan siswa tidak juga
reda , guru dapat meminta bantuan kepada petugas bimbingan penyuluhan.
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
- Kecerdasan emosional adalah kemampuan seseorang untuk menerima, menilai, mengelola, serta mengontrol emosi dirinya dan orang lain di sekitarnya.
- Macam-macam emosi terbagi menjkadi empat yaitu marah, takut, cinta, dan depresi.
- Faktor yang mempengaruhi kecerdasan emosi yaitu faktor genetik, faktor lingkungan, faktor belajar, latihan, dan peran orang tua, guru sebagai pihak lain yang ikut terlibat dalam memupuk kecerdasan emosi.
- Memanfaatkan emosi dengan baik dapat memberikan kenikmatan yang hakiki yang bersumber dari interaksi antara orang per orang. Kita bisa menikmati pengalaman bernegosiasi dan keuntungan personal dari persahabatan.
- Upaya guru untuk mengembangkan kecerdasan dan kreativitas siswanya yaitu guru meluangkan waktu secara teratur bagi siswa-siswi untuk mengembangkan kemampuan bahasa tanpa memandang suku,jenis kelamin ,dll, menjelajahi dunianya ilmiah dengan cara melakukan eksperimen sehingga peserta didik senang dan antusias untuk belajar sehingga dapat merangsang kecerdasan peserta didik, memperlakukan siswa seperti orang dewasa yang penuh dengan rasa tenggung jawab dan mendorong mereka untuk bersaing dengan diri sendiri.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim.2012.
dimensi-dimensi kecerdasan emosional
(diakses dari http://www.psychologymania.com
pada tanggal 17 Mei 2013).
Anonim.2012.
makalah psikologi (diakses dari http://beranimimpilatansa.blogspot.com
pada tanggal 17 Mei 2013).
Ginanjar,
Ary Agustian.2008. Rahasia Sukses
Membangun Kecerdasan Emosi dan Spritual. Jakarta: Arga.
Prayitno.
2009. Dasar Teori dan Praksis Pendidikan.
Jakarta : PT Grasindo.
Sunarto, H
dan B.Agung Hartono. 2008. Perkembangan
Peserta Didik. Jakarta : Rineka Cipta.
Winarti, Septi.2012. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kecerdasan Emosi (diakses dari http://www.blogger.com pada
tanggal 19 Mei 2013).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar