BAB I
PENDAHULUAN
1.
Latar
Belakang Masalah
Dalam upaya
meningkatkan kualitas suatu bangsa, tidak ada cara lain kecuali melalui
peningkatan mutu pendidikan. Peningkatan kualitas pendidikan bagi suatu bangsa,
bagaimanapun mesti diprioritaskan. Sebab kualitas pendidikan sangat penting artinya, karena
hanya manusia yang berkualitas saja yang bisa bertahan hidup di masa depan.
Manusia yang dapat bergumul dalam masa dimana dunia semakin sengit tingkat
kompetensinya adalah manusia yang berkualitas. Manusia demikianlah yang
diharapkan dapat bersama-sama manusia yang lain turut bepartisipasi dalam
percaturan dunia yang senantiasa berubah dan penuh teka-teki (Isjoni, 2008:vii).
Sebagai
mahasiswa jurusan keguruan dan ilmu pendidikan sudah selayaknya kita mengetahui
tentang pendidikan itu sendiri khususnya apa saja unsur-unsur pendidikan sampai
dengan pilar-pilar pendidikan. Disini dirasakan perlu mengetahui apa saja
pilar-pilar dari pendidikan itu sendiri agar senantiasa para penikmat
pendidikan bisa berorientasi pada produk dan hasil belajar. kemudian agar kita
sebagai mahasiswa yang sedang belajar untuk dapat menguatkan sistem pendidikan
khususnya pendidikan di Indonesia serta bagaimana kita bisa mengkonstruksi
dasar dari suatu pendidikan serta adanya oknum pendidikan yang belum bisa
mengaplikasikan pilar-pilar pendidikan.
Sehingga
disini diharapkan dalam pembahasan mengenai pilar-pilar pendidikan kita sebagai
calon pendidik diharapkan bisa nantinya untuk mengaplikasikan pilar-pilar ini
ketika turun ke lapangan serta mampu membangun kesadaran kepada peserta didik
untuk mengembangkan tujuan pendidikan dari pilar-pilar pendidikan yang ada.
2.
Rumusan
Masalah
Berdasarkan
latar belakang diatas maka perumusan masalahnya sebagai berikut
1.2.1
Apa sajakah pilar-pilar pendidikan?
1.2.2
Bagaimana peran dari pilar-pilar pendidikan?
3.
Tujuan
1.3.1
Untuk mengetahui pilar-pilar pendidikan yang ada.
1.3.2
Untuk mengetahui peran dari masing-masing pilar-pilar
pendidikan.
PEMBAHASAN
Ada
4 pilar-pilar pendidikan universal yang dirumuskan oleh UNESCO (Geremeck, 1986)
yaitu, belajar untuk mengetahui ( learning to know) , belajar untuk melakukan
(learning to do) , belajar menjadi ( learning to be), belajar dengan
berkerjasama ( learning to live together) merupakan kebutuhan mendasar bagi
setiap peserta didik.
1.
Learning to Know (belajar untuk
menguasai)
Learning
to know mengandung makna bahwa belajar tidak hanya
berorientasi pada produk atau hasil belajar, akan tetapi juga harus
berorientasi pada proses belajar. Dalam proses belajar, peserta didik bukan
hanya menyadari apa yang harus di pelajari tetapi juga diharapkan menyadari
bagaimana cara mempelajari apa yang seharusnya dipelajari. Kesadaran tersebut,
memungkinkan proses belajar tidak terbatas di sekolah saja, akan tetapi
memungkinkan peserta didik untuk belajar secara berkesinambungan. Inilah
hakekat dari semboyan "belajar sepanjang hayat". Apabila hal ini dimiliki
peserta didik, maka masyarakat belajar (learning society) sebagai salah satu
tuntutan global saat ini akan terbentuk. Oleh sebab itu belajar untuk
mengetahui juga dapat bermakna belajar berpikir karena setiap individu akan
terus belajar sehingga dalam dirinya akan tumbuh kemauan dan kemampuan untuk
berpikir. Learning to know, dengan memadukan pengetahuan umum yang cukup
luas dengan keseempatan untuk
mempelajari secara mendalam pada sejumlkah kecil mata pelajaran. Pilar ini juga
berarti learning to learn (belajar untuk
belajar), sehingga memperoleh keuntungan dari kesempatan-kesempatan pendidikan
yang disediakan sepanjang hayat.
Tidak hanya memperoleh pengetahuan tapi
juga menguasai teknik memperoleh pengetahuan tersebut. Pilar ini
berpotensi besar untuk mencetak generasi muda yang memiliki kemampuan
intelektual dan akademik yang tinggi. Secara implisit, learning to know bermakna belajar sepanjang hayat (Life long education). Asas belajar sepanjang hayat bertitik tolak
atas keyakinan bahwa proses pendidikan dapat berlangsung selama manusia hidup,
baik didalam maupun diluar sekolah. Sehubungan dengan asas
pendidikan seumur hidup berlangsung seumur hidup, maka peranan subjek manusia untuk mendidik dan
mengembangkan diri sendiri secara wajar merupakan kewajiban kodrati manusia.
Dengan kebijakan tanpa batas
umur dan batas waktu untuk belajar, maka kita mendorong supaya tiap pribadi
sebagai subjek yang bertanggung jawab atas pedidikan diri sendiri menyadari,
bahwa:
1)
Proses dan
waktu pendidikan berlangsung seumur hidup sejak dalam kandungan hingga manusia
meninggal.
2)
Bahwa untuk
belajar, tiada batas waktu. Artinya tidak ada kata terlambat atau terlalu dini
untuk belajar.
3)
Belajar/ mendidik diri
sendiri adalah proses alamiah sebagai bagian integral/ totalitas kehidupan (Burhannudin Salam, 1997:207).
Menurut Isjoni (2008:47), guru adalah orang yang
identik dengan pihak yang memiliki tugas dan tanggung jawab
membentuk karakter generasi bangsa. Di tangan gurulah tunas-tunas bangsa ini
terbentuk sikap dan moralitasnya, sehingga mampu memberikan yang terbaik untuk
anak negeri ini di masa yang akan datang.
Guru memiliki
peranan yang sangat penting dalam menentukan kuantitas dan kualitas pengajaran
yang dilaksanakannya. Oleh sebab itu, guru harus memikirkan dan membuat
perencanaan secara saksama dalam meningkatkan kemampuan belajar bagi siswanya,
dan memperbaiki kualitas mengajarnya. Hal ini menuntut perubahan-perubahan
dalam pengorganisasian kelas, penggunaan metode mengajar, strategi
belajar-mengajar, maupun sikap dan karakteristik guru dalam mengelola proses
belajar-mengajar. Guru bisa dikatakan unggul dan profesional bila mampu
mengembangkan kompetensi individunya dan tidak banyak bergantung pada orang
lain.
Konsep learning to know ini menyiratkan makna bahwa pendidik harus mampu
berperan sebagai berikut:
a. Guru berperan
sebagai sumber belajar
Peran ini berkaitan penting dengan penguasaan materi
pembelajaran. Dikatakan guru yang baik apabila ia dapat menguasai materi
pembelajaran dengan baik, sehingga benar-benar berperan sebagi sumber belajar
bagi anak didiknya.
b. Guru sebagai Fasilitator
Guru berperan memberikan pelayanan memudahkan siswa dalam
kegiatan proses pembelajaran.
c. Guru sebagai
pengelola
Guru berperan
menciptakan iklim blajar yang memungkinkan siswa dapat belajar secara nyaman. Prinsip-prinsip
belajar yang harus diperhatikan guru dalam pengelolaan pembelajaran, yaitu:
a)
Sesuatu
yang dipelajari siswa, maka siswa harus mempelajarinya sendiri.
b)
Setiap
siswa yang belajar memiliki kecepatan masing-masing.
c)
Siswa
akan belajar lebih banyak, apabila setiap selesai melaksanakan tahapan kegiatan
diberikan reinforcement.
d)
Penguasaan
secara penuh.
e)
Siswa
yang diberi tanggung jawab, maka ia akan lebih termotivasi untuk belajar.
d. Guru sebagai
demonstrator
Guru berperan untuk menunjukkan kepada siswa segala
sesuatu yang dapat membuat siswa lebih mengerti dan memahami setiap pesan yang
disampaikan.
e. Guru sebagai
pembimbing
Siswa adalah individu yang unik. Keunikan itu
bisa dilihat dari adanya setiap perbedaan. Perbedaan
inilah yang menuntut guru harus berperan sebagai pembimbing.
a. f. Guru sebagai mediator
Guru selain dituntut untuk memiliki
pengetahuan tentang media pendidikan juga harus memiliki keterampilan memilih
dan menggunakan media dengan baik.
g. Guru sebagai
Evaluator
Yakni sebagai penilai hasil pembelajaran siswa. Dengan
penilaian tersebut, guru dapat mengetahui keberhasilan pencapaian tujuan,
penguasaan siswa terhadap pelajaran, serta ketepatan/ keefektifan metode
mengajar (Fakhruddin, 2010:49-61).
Kiat-kiat Agar
Menjadi Guru Favorit
menurut Fakhruddin (2010:97) yaitu:
a) Sabar
b) Bisa menjadi
sahabat
c) Konsisten dan
komitmen dalam bersikap
d) Bisa menjadi
pendengar dan penengah
e) Visioner dan
misioner
f) Rendah hati
g) Menyenangi
kegiatan mengajar
h) Memaknai
mengajar sebagai pelayanan
i) Bahasa cinta
dan kasih sayang
j) Menghargai proses
2.
Learning to do (belajar untuk menerapkan)
Learnning
to do mengandung makna bahwa belajar bukanlah sekedar
mendengar dan melihat untuk mengakumulasi pengetahuan, akan tetapi belajar
dengan dan untuk melakukan sesuatu aktivitas dengan tujuan akhir untuk
menguasai kompetensi yang diperlukan dalam menghadapi tantangan kehidupan. Kompetensi akan dapat dimiliki oleh pesrta
didik apabila diberikan kesempatan untuk belajar dengan melakukan apa yang
harus dipelajarinya secara langsung. Dengan demikian learning to do juga
berarti proses pembelajaran berorientasi pada pengalaman langsung (learning by
experience
). Learning to do, untuk memperoleh bukan hanya suatu keterampilan kerja tetapi juga lebih luas sifatnya, kompetensi untuk berurusan dengan banyak situasi dan bekerja dalam tim. Ini juga belajar berbuat dalam konteks pengalaman kaum muda dalam berbagai kegiatan sosial dan pekerjaan yang mungkin bersifat informal, sebagai akibat konteks lokal atau nasional, atau bersifat formal melibatkan kursus-kursus, program bergantian antara belajar dan bekerja.
). Learning to do, untuk memperoleh bukan hanya suatu keterampilan kerja tetapi juga lebih luas sifatnya, kompetensi untuk berurusan dengan banyak situasi dan bekerja dalam tim. Ini juga belajar berbuat dalam konteks pengalaman kaum muda dalam berbagai kegiatan sosial dan pekerjaan yang mungkin bersifat informal, sebagai akibat konteks lokal atau nasional, atau bersifat formal melibatkan kursus-kursus, program bergantian antara belajar dan bekerja.
Pendidikan membekali manusia tidak
sekedar untuk mengetahui, tetapi lebih jauh untuk terampil berbuat/ mengerjakan
sesuatu sehingga menghasilkan sesuatu yang bermakna bagi kehidupan. Sasaran
dari pilar kedua ini adalah kemampuan kerja generasi muda untuk mendukung dan
memasuki ekonomi industry (Soedijarto, 2010). Dalam masyarakat industri tuntutan tidak lagi cukup
dengan penguasaan keterampilan motorik yang kaku melainkan kemampuan untuk
melaksanakan pekerjaan-pekerjaan seperti “controlling,
monitoring, designing, organizing”. Peserta didik
diajarkan untuk melakukan sesuatu dalam situasi konkrit yang tidak hanya
terbatas pada penguasaan ketrampilan yang mekanitis melainkan juga terampil
dalam berkomunikasi, bekerjasama dengan orang lain, mengelola dan mengatasi
suatu konflik.
Melalui pilar
kedua ini, dimungkinkan mampu mencetak generasi muda yang intelligent dalam
bekerja dan mempunyai kemampuan untuk berinovasi.
Sekolah sebagai wadah masyarakat
belajar hendaknya memfasilitasi siswanya untuk mengaktualisasikan ketrampilan
yang dimiliki, serta bakat dan minatnya agar “Learning to do” dapat terealisasi. Secara umum,
bakat adalah kemampuan potensial yang dimiliki seseorang untuk mencapai
keberhasilan pada masa yang akan datang. Sedangkan minat adalah kecendrungan
dan kegairahan yang tinggi atau keinginan yang besar terhadap sesuatu. Meskipun
bakat dan minat anak dipengaruhi factor keturunan namun tumbuh dan
berkembangnya bakat dan minat juga bergantung pada lingkungan . Lingkungan
disini dibagi menjadi dua yaitu:
1) Lingkungan
social
Yang termasuk
dalam lingkungan social siswa adalah masyarakat dan tetangga juga teman-teman
sepermainan di sekitar perkampungan siswa tersebut. Lingkungan
social yang lebih banyak mempengaruhi kegiatan belajar ialah orangtua dan keluarga siswa itu
sendiri.
2)
Lingkungan
nonsosial
Factor-faktor
yang termasuk lingkungan nonsosial ialah gedung sekolah dan letaknya, rumah
tempat tinggal keluarga siswa dan letaknya, alat-alat belajar, dan keadaan
cuaca. Faktor-faktor ini dipandang turut menentukan tingkat keberhasilan
belajar siswa
(Muhibbin Syah, 2004:138).
Sekolah juga
berperan penting dalam menyadarkan peserta didik bahwa berbuat sesuatu begitu
penting.
Oleh karena
itulah peserta didik mesti terlibat aktif dalam menyelesaikan tugas-tugas
sekolah.
Tujuannya
adalah agar peserta didik terbiasa bertanggung jawab, sehingga pada akhirnya,
peserta didik terlatih untuk memecahkan masalah.
2.
Learning to live together (belajar untuk dapat hidup bersama)
Learning
to live together adalah belajar untuk bekerjasama melalui proses
bekerjasama. Hal ini sangat diperlukan sesuai dengan tuntutan kebutuhan dalam
masyarakat global dimana manusia baik secara individual maupun secara kelompok
tidak mungkin dapat hidup sendiri atau mengasingkan diri dari masyarakat
sekitarnya. Dalam hal ini termasuk juga pembentukan masyarakat demokratis yang
memahami dan menyadari akan adanya perbedaan pandangan antar individu. Learning to live
together, learning to live with others , dengan jalan mengembangkan
pengertian akan orang lain dan apresiasi
atas interdependensi—melaksanakan proyek-proyek bersama dan belajar memenej
konflik—dalam semangat menghormati nilai-nilai kemajemukan, saling memahami dan
perdamaian.
Dari keempat pilar pendidikan di
atas terlihat bahwa pilar learning to live together, learning to live with
others, dalam konteks kemajemukan merupakan suatu pilar yang sangat penting. Pilar ini sekaligus juga
menjadi pembenar pentingnya pendidikan multikultur yang berupaya untuk
mengkondisikan supaya peserta didik mempunyai kemampuan untuk bersikap toleran
terhadap orang lain, menghargai orang lain, menghormati orang lain dan
sekaligus yang bersangkutan mempunyai tanggunga jawab terhadap dirinya serta orang
lain. Sehingga bila proses pembelajaran di sekolah diarahkan tidak hanya pada
learning to know, lerning to do dan leraning to be, tetapi juga diarahkan ke
learning to live together, masalah
kemajemukan akan dapat teratasi dengan melakukan manajemen konflik dan dengan
demikian akan juga diikuti oleh tumbuhnya kebudayaan nasional yang tidak
melupakan kebudayaan daerah, tumbuhnya bahasa nasuonal dengan tidak melupakan
bahasa daerah, tumbuhnya sistem politik
nasional dengan tanpa mengabaikan sistem politik daerah, (pemerintahan daerah).
Kemajuan dunia dalam bidang IPTEK dan
ekonomi yang mengubah dunia menjadi desa global ternyata tidak menghapus
konflik antar manusia yang selalu mewarnai sejarah umat manusia. Di zaman yang
semakin kompleks ini, berbagai konflik makin merebak seperti konflik
nasionalis, ras dan konflik antar agama. Apapun penyebabnya, semua konflik itu didasari oleh
ketidakmampuan beberapa individu atau kelompok untuk menerima suatu perbedaan. Pendidikan
dituntut untuk tidak hanya membekali generasi muda untuk menguasai IPTEK dan
kemampuan bekerja serta memecahkan masalah, melainkan kemampuan untuk hidup
bersama dengan orang lain yang berbeda
dengan penuh toleransi,
dan pengertian.
Dalam
kaitan ini adalah tugas pendidikan untuk memberikan pengetahuan dan kesadaran
bahwa hakekat manusia adalah beragam tetapi dalam keragaman tersebut terdapat
persamaan. Itulah sebabnya Learning
to live together menjadi pilar belajar yang penting untuk menanamkan jiwa
perdamaian.
4.
Learning to be (belajar untuk menjadi)
Learning
to be mengandung arti bahwa belajar adalah proses untuk
membentuk manusia yang memiliki jati dirinya sendiri. Oleh karena itu, pendidik
harus berusaha memfasilitasi peserta didik agar bealajar mengaktualisasikan
dirinya sendiri sebagai individu yang berkepribadian utuh dan bertanggung jawab
sebagai individu sekaligus sebagai anggota masyarakat. Dalam pengertian ini
terkandung makna bahwa kesadaran diri sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa yakni
makhluk hidup yang memiliki tanggung jawab sebagai khalifah serta menyadari
akan segala kekurangan dan kelemahannya. Learning
to be, sehingga dapat mengembangkan kepribadian lebih baik dan mampu bertindak mandiri, membuat pertimbangan dan rasa tanggung jawab pribadi yang semakin
besar, ingatan, penalaran, rasa estetika, kemampuan fisik, dan keterampilan
berkomunikasi.
Tiga pilar pertama ditujukan bagi
lahirnya generasi muda yang mampu mencari informasi dan/ menemukan ilmu
pengetahuan, yang mampu melaksanakan tugas dalam memecahkan masalah, dan mampu
bekerjasama, bertenggang rasa, dan toleran terhadap perbedaan. Bila ketiganya berhasil dengan
memuaskan akan menimbulkan adanya rasa percaya diri pada masing-masing peserta
didik.
Konsep learning to be perlu dihayati oleh praktisi pendidikan untuk
melatih siswa agar memiliki rasa percaya diri yang tinggi. Kepercayaan
merupakan modal utama bagi siswa untuk hidup dalam masyarakat. Penguasaan
pengetahuan dan keterampilan merupakan bagian dari proses menjadi diri sendiri (learning to be) (Atika, 2010). Menjadi diri sendiri diartikan sebagai
proses pemahaman terhadap kebutuhan dan jati diri. Belajar berperilaku sesuai
dengan norma dan kaidah yang berlaku di masyarakat, belajar menjadi orang yang
berhasil, sesungguhnya merupakan proses pencapain aktualisasi diri.
Faktor-faktor
yang mempengaruhi proses pendidikan menurut Djamal (2007:101) yaitu:
1) Motivasi
Yaitu kondisi fisiologi dan psikologis yang terdapat
dalam diri seseorang yang mendorong untuk melakukan aktivitas tertentu guna
mencapai suatu tujuan/
kebutuhan
2) Sikap
Sikap yaitu suatu kesiapan mental atau emosional dalam
berbagai jenis tindakan pada situasi yang tepat.
3) Minat
4) Kebiasaan
belajar
Berbagai hasil penelitian menunjukkan, bahwa hasil
belajar mempunyai kolerasi positif dengan kebiasaan atau study habit. Kebiasan merupakan cara bertindak yang diperoleh
melalui belajar secara berulang-ulang, yang pada akhirnya menjadi menetap dan
bersifat otomatis.
5) Konsep diri
Konsep diri adalah pandangan seseorang tentang dirinya
sendiri yang menyangkut perasaannya, serta bagaimana perilakunya tersebut berpengaruh
terhadap orang lain.
Makna pilar ke empat ini adalah muara
akhir dari tiga pilar pendidikan diatas. Dengan pilar ini , peserta didik
berpotensi menjadi generasi baru yang berkepribadian mantap dan mandiri (Aezacan, 2011).
Garis Besar Mengenai ke Empat Pilar Pendidikan UNESCO
a.
Kekuatan
Ke empat pilar
pendidikan tersebut dirancang sangat bagus, dengan tujuan yang bagus pula, dan sesuai
dengan keadaan zaman sekarang yang menuntut pesera didik tidak hanya diajarkan
IPTEK, kemudian dapat bekerja sama dan memecahkan masalah, akan tetapi juga
hidup toleran dengan orang lain ditengah-tengah maraknya perbedaan pendapat
dimasyarakat. Dengan ke
kempat pilar ini akan bisa tercapai pendidikan yang berkualitas.
b.
Kelemahan
Meskipun ke
empat pilar pendidikan ini dirancang sedemikian bagusnya, namun perlu diingat,
masih banyak aspek penghalang dalam pelaksanaan tersebut, seperti kurangnya SDM guru yang benar-benar
“mumpuni”, perbedaan pola pikir setiap masyarakat atau daerah dalam memandang
arti penting pendidikan, kemudian ada lagi fasilitas, fasilitas yang masih
minim akan sangat menghambat kemajuan proses belajar mengajar, dan
kendala-kendala lain.
c.
Peluang
Apabila
pendidikan di Indonesia diarahkan pada ke empat pilar pendidikan ini, maka pada
gilirannya masyarakat Indonesia akan menjadi masyarakat yang bermartabat di
mata masyarakat dunia.
d.
Ancaman
Ke empat pilar
pendidikan UNESCO ini bisa menjadi bumerang bagi
peserta didik dan
pengajar
apabila tujuan atau keinginan yang hendak dicapai tidak kunjung terwujud. Bisa
jadi akan muncul sikap pesimis dan putus asa kehilangan kepercayaan diri.
KESIMPULAN
Pilar-pilar
pendidikan tersebut dirancang dengan sangat bagus dan dengan tujuan yang sangat
bagus pula. Dengan
mengaplikasikan pilar-pilar tersebut, diharapkan pendidikan yang berlangsung di
seluruh dunia termasuk Indonesia dapat menjadi lebih baik.
Namun masih
banyak aspek penghalang dalam pelaksanaan tersebut, baik mengenai SDM nya, fasilitasnya, perbedaan pola
pikir setiap masyarakat atau daerah dalam memandang arti penting pendidikan,
dan kendala-kendala lain.
Persoalan
pendidikan merupakan tanggung jawab kita bersama, karenanya tentu secara
bersama-sama pula kita mencari alternative pemecahannya. Mudah-mudahan ke empat
pilar tersebut dapat kita realisasikan dan akan nampak hasinya.
Mari melakukan
introspeksi diri sejauh
mana kita sudah
melakukan yang terbaik untuk perubahan dan perbaikan terhadap persoalan
pendidikan yang melilit negeri ini. Satu harapan kita semua, agar dunia pendidikan di
Indonesia bisa menjadi lebih baik dan berkualitas.
sangat bermanfaat terima kasih atas ilmunya semoga semakin bertambah dan kembali berbagi
BalasHapussangatt bermanfaat,,,,
BalasHapusterima kasih ilmunya sangat bermanfaat dan membantu ^^
BalasHapus